Kementerian Luar Negeri mengatakan krisis politik di Myanmar tidak akan berakhir tahun ini meski Indonesia memimpin ASEAN. Namun, pemerintah menegaskan bahwa krisis politik tidak akan menyandera pembangunan komunitas Asean.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengapresiasi upaya pemerintah Brunei Darussalam dan Kamboja dalam menyelesaikan konflik di Myanmar. Namun, kurangnya komitmen junta di Myanmar mengakibatkan tidak ada kemajuan berarti selama dua tahun terakhir.
“Kita tahu sejarah Myanmar, kompleksitas yang dihadapi Myanmar, jadi tidak mungkin mengharapkan semuanya selesai tahun ini,” kata Retno dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Senin (30/1).
ASEAN sebelumnya mencoba menerapkan konsensus lima poin atau 5CP untuk meredam krisis politik di Myanmar. Sebagai informasi, 5CP telah disepakati para pemimpin ASEAN dan Ketua Junta Myanmar Min Aung Hlaing di Jakarta pada 24 April 2021.
Isi perjanjian 5CP adalah segera menghentikan kekerasan di negara tersebut, mengadakan dialog dengan semua pihak, menunjuk utusan khusus, menerima bantuan kemanusiaan dari ASEAN, dan mengunjungi utusan khusus ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak.
“Sangat disayangkan hingga saat ini belum ada komitmen nyata dari junta Myanmar untuk mengimplementasikan 5CP, sehingga belum ada perkembangan yang signifikan,” ujar Retno.
Retno meyakini dialog nasional yang inklusif adalah kunci penyelesaian masalah di Myanmar. Namun, dialog membutuhkan situasi yang kondusif, menghentikan kekerasan, dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat.
Meski pesimistis, Indonesia akan melakukan sejumlah upaya untuk menyelesaikan konflik Myanmar. Salah satunya adalah komunikasi dengan Sekretariat Jenderal PBB dan beberapa negara lain.
Retno tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai strategi yang akan dilakukan untuk menyelesaikan masalah di Myanmar secara terbuka. “Menjelaskan lebih detail dan mempertimbangkan sensitivitas isu, kami diperbolehkan melakukannya dalam format rapat tertutup,” katanya.
Reporter: Andi M. Arief