Kementerian Kesehatan atau Kemenkes menargetkan 50% obat yang dikonsumsi masyarakat Indonesia diproduksi di dalam negeri. Kementerian juga mendorong pengembangan produksi empat bahan baku medis alias BBO dan enam produk biologi di Indonesia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menargetkan pembangunan industri farmasi selesai pada 2024. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan obat impor.
“Saya ingin 50% obat diproduksi di dalam negeri. Jadi kalau ada yang tidak beres, minimal ada penyangga,” kata Budi dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Jakarta, Rabu (8/2).
Langkah-langkah yang akan dilakukan Kementerian Kesehatan untuk mencapai target tersebut antara lain:
Berkoordinasi dengan beberapa Kementerian dan Lembaga (K/L), seperti Kementerian Penanaman Modal, Kementerian Perindustrian, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menggunakan produk dalam negeri dalam katalog elektronik atau e-catalog. Rencana untuk memfasilitasi industri farmasi mengkonversi BBO impor ke BBO lokal
Setidaknya ada enam BBO yang diterbitkan di dalam negeri, yaitu:
Paracetamol, Omeprazole, Atorvastatin, Clopidogrel, Amlodipine, Candesartan
Sedangkan BBO yang masih dalam tahap pengembangan untuk produksi dalam negeri adalah:
BisoprololLansoprazoleCefiximeCeftriaxone
Kementerian Kesehatan menyatakan obat kimia mendominasi pasokan dalam negeri dari sisi volume. Meskipun demikian, 50% obat yang diproduksi di negara ini berbasis biologis.
Pemerintah juga akan fokus pada produksi obat-obatan berbasis biologis di dalam negeri.
Sejauh ini, ada empat obat berbasis biologi yang diproduksi oleh industri lokal yaitu:
Erythropoietin AlfaEnoxaparin Insulin GlargineRituximab
Budi mencatat ada beberapa obat biologis yang sedang dikembangkan, antara lain:
TrastuzumabHyFC EPOAlbuminIVIgFVIIBevacizumab
Namun, Budi mengatakan industri petrokimia dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan industri BBO. Padahal, ketersediaan tumbuhan obat di negeri ini cukup beragam seperti kunyit, jahe, dan lengkuas.
Demi memajukan industri jamu, Budi meninggalkan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu di Yogyakarta.
Pengoperasian pusat dilakukan oleh RSUP Dr. Sardjito. Ini adalah rumah sakit pendidikan untuk mahasiswa kedokteran di Universitas Gadjah Mada atau UGM.
Langkah ini bertujuan untuk mempercepat penggunaan obat herbal seperti obat resep dokter. Tenaga kesehatan di RSU Dr Sardjito dinilai mampu melakukan uji klinis mandiri sebelum merekomendasikan obat herbal kepada pasien.
“Jadi pendekatannya harus klinis dulu. Teman-teman UGM saya berikan wadah yang sangat besar untuk mengembangkan obat herbal standar,” kata Budi.
Reporter: Andi M. Arief