Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan jumlah kerusakan dan kerugian akibat bencana hidrometeorologi periode 2018-2022 mencapai Rp 31,5 triliun.
Kepala Bidang Komunikasi Kebencanaan BNPB Dodi Yuelova mengatakan, tren bencana hidrometeorologi di Indonesia meningkat dalam 10 tahun terakhir. Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang disebabkan oleh aktivitas cuaca seperti siklus hidrologi, curah hujan, temperatur, angin dan kelembaban. Pada tahun 2011, BNPB menghitung 1.619 bencana. Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan mencapai 5.402 bencana pada tahun 2021.
“Bencana hidrometeorologi pada tahun 2022 mengalami penurunan menjadi 3.544 bencana. Tapi trennya cenderung meningkat dari tahun ke tahun,” ujarnya, Rabu (8/2).
Dodi mengatakan, sebagian besar bencana yang terjadi berupa banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor. Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi beberapa bencana banjir dan tanah longsor berskala besar yang menarik perhatian publik. Berikut contoh banjir dan tanah longsor di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, banjir bandang di Papua, dan banjir di Bengkulu tahun 2019. Selain itu, banjir bandang juga terjadi di Jawa Barat dan Luwu Utara tahun 2020.
“Salah satu penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan,” kata Dodi.
Sementara itu, Koordinator Analisis Variabilitas Iklim BMKG Supari mengatakan beberapa indikator cuaca ekstrem memang meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Frekuensi hujan deras yang melebihi 50 mm, misalnya, mengalami peningkatan. Selain itu, periode hari istirahat tanpa hujan semakin sering terjadi.
“Kalau di beberapa daerah hujannya lebih dari 100 mm, biasanya menyebabkan banjir,” ujarnya.